Air di Sudut Mata SYL

 



Suatu pagi buta, bos saya mendadak menelepon dengan suara tergesa. "Kau tidak salah, kan, mengutip pidato SYL?" . Saya kaget karena tumben pagi-pagi buta beliau mengklarifikasi soal berita. Biasanya menanyakan agenda liputan.

😂 Itupun menelepon agak siangan biasanya. "Dikomplen beritamu Tri!" katanya dengan nada agak ditekan. Saya pun kaget. Sisa-sisa kantuk di pagi itu langsung ambyar.
SYL yang dimaksud bos saya ini adalah Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian. Cerita ini saya ingat lagi setelah namanya terus menggema dari sudut Kuningan, kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu terakhir. Hingga akhirnya ditetapkan tersangka kasus dugaan pemerasan dalam jabatan dan penerimaan gratifikasi.
Medio 2008, saya hampir tiap hari bertemu dengannya karena meliput di kantor Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Syahrul kala itu menjabat Gubernur Sulawesi Selatan.
Lanjut cerita, pagi itu saya lalu menggeber vespa untuk liputan Syahrul di DPRD Sulsel. Agendanya pertanggungjawaban anggaran. Namun tak seperti biasa, ia tak sampai lima menit di atas podium. "Bapak lagi kurang enak badan," kata salah seorang bawahannya.
Syahrul memang tak melayani doorstop wartawan pagi itu. Dari kejauhan aku melihat wajahnya agak pucat sambil berlalu dengan sedikit senyum. Lalu HP Nokia 9300 communicator saya kembali berdering dari balik saku. Saya dipanggil ke kantor untuk di BAP soal berita saya! Waduh, gawat.
Sehari sebelumnya, saya meliput SYL berpidato di sebuah pertemuan yang berlangsung di Jalan Veteran, Makassar. Saya sudah lupa nama gedungnya. Yang pasti suasana jelang Pemilu Presiden 2009 sudah mulai memanas. Saya mendengar SYL berbicara tentang kans orang Sulawesi menjadi presiden dalam pidatonya. Maklum waktu itu Jusuf Kalla sudah santer bakal maju sebagai calon presiden.
Namun maaf, saya tidak ingin merinci pernyataannya di sini (tak mau polemik lagi hehe). Pernyataan tentang kans orang Sulawesi yang saya kutip lalu menjadi cover halaman pertama di media saya bekerja. Tak kusangka berita ini heboh. Bahkan entah ada hubungannya atau tidak, beberapa saat kemudian Andi Mallarangeng yang kala itu juru bicara Presiden SBY seolah menjawab tentang rendahnya kans orang Sulawesi menjadi presiden. Dan itu jelas mengundang polemik.
Ketika di-BAP di kantor, saya dicecar karena tak punya rekaman pernyataan Syahrul. Duh, Itu memang sesuatu yang fatal (jangan ditiru, ya, wankawan). Saya pun pasrah dalam posisi yang lemah. Namun saya jurnalis muda waktu itu. Rasa-rasanya keberanian tak sekecil sekarang hehehe.
Seusai di-BAP, saya lalu kembali liputan ke rumah dinas gubernur. Di situlah saya semakin deg-degan. Banyak pimpinan redaksi yang dipanggil ke sana. "Berita mu dibahas Tri," ucap salah seorang wartawan. Sejumlah pimpinan redaksi memang terlihat memasuki ruangan di samping gedung utama Rujab Gubernur Sulsel. Pikiran awam saya waktu itu kenapa heboh amat? Apa yang salah dengan berita itu? Maklumlah, saya anak baru wkwkw. Kepekaan masih setipis tisu.
Puncak ketegangan saya terjadi di sore hari. Mendadak ditelpon lagi oleh kantor karena dipanggil ke Rujab Gubernur. "Nanti kamu didampingi beberapa tim," ujar bos saya menenangkan. Sungguh dia nyaris gagal menenangkan saya wkwk.
Dan tibalah saya di rumah jabatan bergaya Belanda itu. Kami dipersilakan masuk. Beberapa orang yang belakangan kutahu merupakan kuasa hukum SYL sudah duduk berderet di kursi panjang berwarna abu muda. Kami menunggu Syahrul sambil bercerita dalam kecanggungan sambil disuguhi teh panas. Namun entah kenapa saya tidak merasa takut dalam situasi itu. Ada setitik semangat bahwa ini adalah jalan pedang saya menjadi jurnalis. Walau sebenarnya ada rasa dag dig dug juga. 😂
Namun saya hanyalah wartawan muda saat itu. Cukup bergidik juga waktu SYL memasuki ruangan dengan baju putihnya. Semua orang lalu berdiri bersalaman termasuk saya. Ia tetap tersenyum walau ada keresahan dari rautnya.
"Saya diperiksa karena itu!" katanya tenang tapi rada kesal. Syahrul mengaku didatangi intel untuk mengklarifikasi berita tersebut. Ia lalu memperhatikan saya yang duduk tepat di depannya. Saya sempat kikuk tapi juga berusaha tenang #tidakmaukalah 😀. "Dinda, saya terpaksa kasih ini," katanya. Di tangan Syahrul ada kertas berukuran folio entah somasi atau gugatan. Saya hanya mengangguk sambil memperbaiki posisi duduk.
Saya lupa seperti apa kelanjutan percakapan dalam pertemuan yang tergolong cukup lama itu (Entah apakah memang lama atau karena saya dalam situasi yang kurang nyaman jadi terasa lama hahaa). Yang pasti situasi yang semula beku lambat laun mencair. Sesekali ada tawa di antara kami. Dan Syahrul terlihat semakin tenang sambil sesekali melihat ke saya. Mungkin dia berpikir kasihan juga ini kalau saya gugat wkwkwk.
Di akhir pertemuan, ia menyatakan tidak jadi menggugat saya. Kami lalu berpelukan. Kulihat sudut matanya berair. Ia kemudian menyekanya dengan punggung tangan. Huft, saya menghela nafas panjang lalu pamit pulang. Saya lupa apa yang saya sampaikan saat itu. Yang pasti, di atas scooter butut badan melaju dengan ringan. Seperti ada beban yang terlepas. Ah, saatnya mengembalikan sisa kantuk yang hilang di pagi tadi 😀


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Veteran Tua Lelah Usia

Matamu......