Nama Jawa dan Orde Baru
Oo kamu orang Sulawesi?
Kok namanya Jawa?
Itu kalimat yang sering saya terima ketika berkenalan dengan seseorang. Bosan juga, makanya saya jawab dengan cepat, “Saya korban Orde Baru!”. Mereka lalu tertawa padahal itu tidak lucu.
Nama saya berasal dari almarhum bapak yang dulunya serdadu. Saya tak tahu alasan pasti bapak memberi nama itu karena sudah meninggal waktu saya di bangku SD. Namun menurut mamak, nama saya diambil dari atasan bapak yang orang Jawa. Sedangkan paman saya bilang, itu tak sekedar mencaplok nama atasan. Bapak saya juga berharap nama itu membuat saya tidak jadi pengangguran. Lho apa hubungannya?
Paman saya yang tak lain adik mamak itu lalu bercerita, di zaman Orde Baru rasisme sangatlah kuat di pemerintahan. Selain keluarga pejabat dan berduit, faktor lain yang membuat orang mudah lulus PNS adalah Jawa. Makanya bila kamu tak berasal dari sana, setidaknya namamu Jawa. What the hell? Saya sebenarnya menganggap alasan ini agak konyol. Kok, nama bisa jadi persoalan? untuk jadi abdi pada negara yang luasnya dari Sabang ke Merauke ini pulak. Wah!
Namun anggapan itu tak hanya dipercaya oleh keluarga saya, tapi sebagian besar masyarakat di tempat saya lahir di Sulawesi Barat sana. Maka dari SD, saya sudah mengenal banyak teman yang bernama Jawa. Ada nama Handoko, Anto, Jono, Harmoko, Harianto dll. Padahal sebenarnya, di sana juga ada nama khas daerah dan asal marga.
Paman saya lalu bilang, alasan lain bapak saya agar keturunannya terlepas dari tuduhan pemberontak. Apa pula itu! mentang-mentang ada salah satu kakek saya komandan DI/TII saya ikut dibawa-bawa juga. Kata paman, bapak berharap dengan nama Jawa, Pemerintah tidak mengaitkan saya dengan DI/TII. Hmm….
Saya sebenarnya tak pernah marah atau pun mengutuki bapak memberi nama Jawa. Saya juga tak ada masalah dengan Jawa. Buktinya bini saya orang Jawa (Baik hati dan rajin menabung pula :*). Saya hanya miris atas kondisi bangsa di saat Orde Baru berkuasa. Kesadaran masyarakat diatur oleh oligarki kekuasaan. Hanya karena pendapat yang berbeda, anda bisa masuk penjara bahkan lenyap. Hanya karena soal nama, hidup anda bisa sengsara.
Jangankan saya, orang Cina pun dipaksa menggunakan nama melayu (Indonesia). Bila tidak mengikuti semua perintah itu, jelas konsekuensinya tak bisa ditakar. “Piringmu bisa pecah,” itu kata-kata entah dari siapa, tapi sering saya dengar waktu kecil.
Padahal nama adalah identitas kultural seseorang. Identitas yang menurut Littlejhon adalah kode yang mendefinisikan keanggotaan anda dalam komunitas yang beragam (Littlejhon & Foss 2014:131). Artinya, bila kode itu lenyap sama halnya menghapus di mana anda berasal. Dari mana jati diri anda? anda siapa? Bagaimana anda bisa ada? Tentu itu sangat miris. Lama-lama kita jadi bangsa amnesia!
Makanya saya bersyukur kini terbebas dari Orde Baru, penguasa yang runtuh bersama mundurnya Soeharto pada 21 Mei, sekitar 20 tahun lalu. Saya berharap sistem demokrasi yang kita jalani bisa menghapus semua duka di masa tersebut. Sebab demokrasi adalah jalan yang bisa memerdekakan pikiran bangsa, menyempitkan ruang gerak rezim korupsi, dan yang paling penting tetap menyadarkan kita pada keberagaman. Bila ada yang hendak kembali ke Orde Baru, hanya ada satu kata : LAWAN!
27 April 2019
Komentar
Posting Komentar