Perempuan Super itu Telah Pergi




Baru beberapa jam dapat kabar paman meninggal, Ibu saya menelepon mengabarkan Nenek saya, Sitti Hadijah, juga ikut berpulang pada Rabu 30 Oktober 2024, sekitar pukul 13.30 WITA. Saya hancur mendengar kabar ini.

Nenek Hadijah adalah ibu dari ibuku yang tahun ini genap berusia 88 tahun. Kami, cucu-cucunya, tetap memanggilnya "Ibu" atau “Nenek Ibu”. Mungkin karena sering mendengar ibu saya dan saudara-saudaranya menyebut Nenek dengan panggilan Ibu.


Bagiku, Nenek Ibu, adalah perempuan super. Ia bisa mengerjakan pekerjaan berat seorang diri hingga usia senja. Bukan semata soal ekonomi, tapi dia seorang yang memang pekerja keras. Nenek Ibu adalah seorang pedagang dan juga petani. Ia menjajakan hasil bumi dari satu pasar ke pasar lainnya. Membawa dagangannya dari kampung lalu menjualnya ke pasar di kampung seberang. Hasil penjualan lalu digunakan untuk membeli hasil bumi lainnya lalu dijual di pasar lainnya. 


Ia berangkat di pagi buta bersama rombongan penjual dengan menggunakan mobil pickup reyot milik salah satu paman. Satu atau dua hari kemudian dia pulang dengan setumpuk dagangan untuk dijual lagi di kampung. Macam-macam dagangannya, ada pisang, beras ketan, gula aren, hingga rotan yang sudah dibelah tipis-tipis untuk pengikat. Setibanya di rumah, dia segera merapikan barang dagangan di toko kecilnya. Lalu sorenya, setelah istirahat, Nenek Ibu bergegas ke kebun menengok singkong yang ditanamnya.

Kadang, di ladang, dia juga menanam jagung, kacang tanah, cabe rawit, hingga bawang merah.  Semuanya dilakukan sendiri karena sang suami sudah meninggal dunia sejak ibuku kecil. Sepulang dari kebun, Nenek akan menggendong bakul besar mirip gendongan tukang jamu. Isinya penuh sesak, mulai dari singkong, jagung, kelapa, hingga pakan kambing di bagian paling atas bakul-nya. Kadang ada adik saya yang ditaruh di atas bakul bila ia ikut ke kebun. Saya sendiri bingung, bagaimana mengangkat beban seberat itu.

Saat kecil, momen yang tak terlupakan bila Nenek Ibu membawakan jangkrik tangkapannya sepulang dari kebun. Jangkrik itu dimasukkan ke dalam sarung lalu diikat agar tak kabur. Sekali waktu saya sedih karena jangkriknya kabur setelah berhasil merobek sarung. Namun beberapa waktu kemudian Nenek Ibu kembali membawa jangkrik tangkapan lagi.


Saya sangat senang ikut dia ke kebun. Kami biasanya membersihkan rumput di sela-sela bedeng atau mencangkul untuk menanam bibit baru. Kadang saya hanya menonton dia mencangkul karena sangat cepat dan rapi. Dalam setengah jam bisa menyelesaikan lahan seluas lapangan voli.


Siangnya kami buka bekal untuk di makan di tengah kebun. Menikmati nasi dengan lauk ikan yang dibungkus daun sambil mendengar kicauan burung, suara gemericik sungai, dan merasakan sejuknya angin yang bertiup dari sela pohon. Sungguh kenangan tak terlupakan.


Ada satu momen yang bikin bulu kuduk saya bergidik, Nenek Ibu terjatuh saat kami memperbaiki pagar duri. Kedua telapak tangannya terkelupas. Saya hampir pingsan melihat darahnya yang bercucuran. Sementara dia hanya menahan perih dengan ekspresi datar. “Malah kamu yang mau menangis,” katanya sambil tertawa beberapa hari kemudian. Momen lain ketika Nenek Ibu mengajak saya ke kampung halaman orang tuanya (buyut saya) di Sosso, dusun yang berada di pegunungan Tinambung, Polewali Mandar. Dulu, belum ada jalan yang bisa dilalui kendaraan roda dua maupun empat ke sana. Kami pun berjalan sampai setengah hari. 


Saat pulang, entah kenapa kami tersesat. Sampai sore kami berjalan tapi tidak menemukan rute yang benar. Bahkan selalu kembali ke rute semula. Saya yang masih di bangku SMP tentu panik karena matahari mulai menghilang. Nenek Ibu berusaha menenangkan. Kami sempat duduk sesaat lalu kemudian jalan lagi. Beruntung bertemu beberapa orang dan mengantarkan kami ke rute yang benar. Saya tak pernah lagi ke sana sejak saat itu.


Menolak jadi Veteran karena Salah Nama 

Nenek Ibu, Sitti Hadijah adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bersama suaminya, Mannang, ia ikut melawan penjajah. Ia rela bergerilya di hutan hingga berbulan-bulan untuk melawan penjajah. Bahkan, pernah rumahnya dibakar habis karena ketahuan menyimpan puluhan bedil untuk pasukan Merah Putih. Kesaksian Hadijah bisa dilihat sini:
https://mesuleka.wordpress.com/2017/05/04/setahun-berjalan-menghindari-maut/
Jiwa pejuang Nenek Ibu memang dipupuk oleh kedua orang tuanya yang juga pejuang. Ayahnya, Sahuda, adalah seorang pemimpin pasukan di salah satu wilayah di Majene, Sulawesi Barat. Tulisan soal Sahuda bisa dilihat di sini:


https://sulbarkita.com/sahuda_pejuang_asal_sendana_majene_yang_terlupakan_part_i_berita1171.html
https://sulbarkita.com/sahuda_pejuang_asal_sendana_majene_yang_terlupakan_part_ii_berita1172.html
https://sulbarkita.com/sahuda_pejuang_asal_sendana_majene_yang_terlupakan_part_iii_berita1173.html

https://sulbarkita.com/sahuda_pejuang_asal_sendana_majene_yang_terlupakan_part_ivakhir_berita1174.html


Sekitar akhir tahun 80-an, Pemerintah mendata para pejuang kemerdekaan untuk mendapatkan gaji veteran. Almarhumah buyut saya, Hamasia, Ibu dari Nenek Ibu, berhasil menjadi angkatan veteran. Nenek Ibu juga mendapat kabar bakal berstatus yang sama. Namun, setelah surat datang ke rumahnya, ia kaget karena nama yang tertera di berkas berbeda dengan namanya.

“Ada beberapa orang yang tetap menerima dengan mengganti namanya sesuai surat. Tapi saya tidak mau. Mending saya tidak terima gaji,” kata Nenek Ibu saat menceritakan kejadian tersebut kepada saya beberapa tahun silam. Walhasil, ia tak menerima gaji seperti halnya veteran lainnya.


Nenek Ibu memang seorang yang berpendirian teguh. Berbicara cukup tegas. Ia memilih untuk bekerja keras menjadi pedagang dan petani dibanding menerima gaji seumur hidup dengan nama orang lain. Ia pun menuai hasil dengan sukses menyekolahkan kelima anaknya hingga ke bangku SMA, termasuk Ibu saya. Maklum, SMA tergolong pendidikan tinggi bagi masyarakat di kampung pada masa lalu. Bangku kuliah hanya ada jauh di Makassar, sekitar 350 km dari rumah Nenek. Hanya satu dua orang dari keluarga berduit yang bisa sekolah di sana. Konon, dulu hanya ada satu bus yang berangkat ke sana dalam sepekan. Di masa saya kuliah di Makassar sekitar 2004, masih sedikit dari kampung yang ikut berkuliah di sana. 


Nenek juga bisa menabung hingga naik haji beberapa tahun lalu. Toko kelontongnya pun semakin besar. Ingat dulu, ia kerap menjajakan dagangan di atas tikar kecil dari karung beras di pasar dekat rumah. Seiring waktu dia juga punya kios lalu toko di pasar. Saat masih ngemper di atas tikar plastik, Saya sering mampir untuk sekadar jalan-jalan. Ia lalu menyuguhkan gogos, sejenis lemper ala Sulawesi.  


Selamat jalan Nenek Ibu, sampai jumpa!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hilang Satu Generasi

Veteran Tua Lelah Usia