Hilang Satu Generasi
Hari ini saya dapat berita yang sangat sedih. Paman saya, Hasanuddin, meninggal dunia di kediamannya di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu dini hari sekitar pukul 03.00 WIB. Paman memang sudah berpuluh tahun tinggal di Tanah Jawa. Meninggalkan kampung halaman di Mandar karena merantau dan menikah dengan wanita berdarah Madura. Itulah mengapa dia lebih senang dipanggil Pakde, panggilan paman tertua dalam bahasa Jawa.
Saya menelepon Ibu saya di kampung untuk memberitahu kabar duka itu. Lalu saya mencari tahu siapa sebenarnya Pakde ini dari informasi yang pernah didengar ibu saya. Maklum, silsilah keluarga kami tidak tertulis dengan rapi sehingga kadang lupa urutannya. Saya juga tidak terlalu mengenal dekat beliau karena sejak kecil berbeda tempat di perantauan. Beliau di Jawa, saya di Sulawesi. Setelah besar saya ke Jakarta, beliau tetap bermukim di Sidoarjo.
Ibu saya bilang, Hasanuddin adalah lulusan pelayaran. Dia menahkodai kapal-kapal besar yang lalu lalang baik di dalam dan luar negeri. Di masa pensiun Pakde masih dikaryakan sejenis marshaller, orang yang bertugas mengarahkan kapal ke tempat parkir di Pelabuhan. Bagi kami, beliau salah satu keluarga dekat yang sukses di perantauan.
Pakde Hasanuddin adalah saudara seayah dengan abah (bapak kandung saya). Namun datang dari ibu yang berbeda. Ibunya berpisah dengan kakek saya Sangngang yang berprofesi sebagai seorang guru. Si kakek Sangangang lalu menikah lagi dengan seorang janda yang ditinggal mati suaminya dengan tiga anak bernama Tadatia asal Tinambung, Polewali Mandar. Mereka lalu dikaruniai 5 anak (salah satunya abah saya).
Yang paling sedih, Pakde Hasanuddin adalah anak terakhir yang tersisa. Delapan saudara tirinya sudah berpulang lebih dulu. Kini dia pun ikut berpulang. Sehingga satu generasi dari keluarga abah saya sudah benar-benar habis.
Saya berdoa semoga semua mendapat tempat terbaik di sisiNya. Alfatihah
Kakek yang jadi nama Jalan di Pinrang
Saat menelepon ibu, cerita kami merembet pada kisah yang amat sedih dari si nenek Tadatia (istri kakek saya Sangngang). Sebelum bertemu kakek saya, dia adalah seorang istri perwira tentara asal Manado, Sulawesi Utara.
Mereka tinggal di Pinrang, Sulawesi Selatan, dan dikaruniai tiga anak perempuan yakni Lis, Yuli, dan Dona. Namun kehidupan mereka berakhir naas setelah sang suami ditangkap tentara Belanda. Sang suami yang juga perwira tentara itu lalu dieksekusi dengan hukuman tembak mati.
Ibu tak tahu persis pemicu hukuman mati tersebut. Ia hanya pernah mendengar cerita dari sang nenek, bahwa suaminya ditembak karena ketahuan membelot ke tentara Indonesia (Mungkin dia adalah perwira KNIL yang dulu banyak berasal dari Manado). "Saya kadang menangis karena sangat sedih bila beliau bercerita. Terlihat sekali bahwa beliau terpukul dengan peristiwa itu," kata Ibu saya.
Sang nenek bercerita, suaminya ditangkap di rumah mereka di Pinrang. Kemudian tak lama berselang, seorang prajurit datang membawa pesan bahwa sang suami akan dieksekusi mati. "Ia memohon kepada si prajurit agar dipertemukan lebih dulu suaminya walau sedetik," kata Ibu saya menirukan cerita nenek.
Permohonan nenek dikabulkan, ia pun memboyong anak-anaknya bertemu dengan sang suami untuk yang terakhir kalinya. Di sebuah lapangan, ia menemukan sang suami berdiri dengan penutup mata. Seorang prajurit lalu membuka tutup mata dari kain itu. "Suaminya bilang, dek, jaga anak-anak ya," kata Ibu bercerita. Mereka pun tenggelam dalam pelukan.
Tak berselang lama, nenek lalu digiring meninggalkan lokasi eksekusi. Seorang prajurit berbisik kepada nenek, " Kalau mendengar suara tembakan, itu artinya suamimu sudah meninggal, " ucap prajurit tersebut ditirukan Ibu saya. Nenek Tadatia lalu mendengar suara dor di perjalanan pulang.
Menurut Ibu, nama suami sang nenek itu diabadikan dalam satu nama jalan sepanjang hampir setengah kilometer di Pinrang, Sulawesi Selatan. Nama jalannya Andreas Wahani. Perihal nama ini, tentu perlu penelusuran lebih lanjut karena saya tak menemukan literatur yang mendukung cerita ibu ini.
"Dulu saya sering antar Ibu Dona ziarah ke makam papinya di Taman Makam Pahlawan Pinrang. Kuburannya sebelah kanan dari pintu masuk kompleks makam. Namanya tertulis di situ," kata Ibu.
Catatan:
Saya menulis potongan cerita ini sebagai memori di masa mendatang. Saya juga berharap tulisan ini bisa memiliki literatur yang lebih lengkap di masa depan. #satugenerasi
#pahlawan nasional yang meninggal di usia muda #pahlawan 1945 #pahlawan yang meninggal di usia muda brainly
Komentar
Posting Komentar