Untuk Kalian yang Tak Dilumat Usia
Gerombolan remaja itu menantang
kegelapan pasar kumuh di sebuah desa di Sulawesi Barat. Mereka duduk melingkar
beralaskan sisa kardus para pedagang yang saban pekan berada di sana. Mereka
seolah mematung. Tak bersuara. Hanya degub jantung mudanya yang mungkin terbawa
semilir pantai, yang tak sampai semenit dari pasar kumuh itu.
Setengah berbisik, salah seorang di antaranya bergegas merogoh kantong belakang
jins belelnya. Seluruh mata pun tertuju pada botol kecil gemuk seukuran air
mineral. Botol itu dibalut kresek warna merah. Huruf miring bertulis
"Kijang" samar di sisi botolnya.
Bau menyengat menyeruak ketika tutup botol tanggal dengan gigitan bengis sang
kawan itu. Sepintas mirip bau bensin dicampur permen karet. Baunya begitu
menusuk hingga ke kepala. Wajar bila wajah ganteng mereka berubah masam ketika
mencicipinya.
Saya, yang berada di antara gerombolan itu, juga menyerah. Tak sampai seteguk
pun air itu lolos ke tenggorokan. Mulut rasanya mau terbakar. Hancur betul rasa
minuman ini. Dada terasa panas. Namun ahkk…terobati sudah penasaran kami dengan
minuman tersebut.
Itulah salah satu kenangan masa SMP yang tak lekang dengan sahabat-sahabat
kecil saya. Di situ ada Adam, Ashran Guinness atau Bang
Doel, Qla Saja, Ardi alias Ance Ardi, Darwan, dan Andi Amrank Amir. Kami tumbuh bersama di
sebuah desa tanpa tempat hiburan. Desa yang jalannya penuh kubangan nan
lampunya jarang. Desa yang masih menganggap motor adalah kendaraan supermewah.
Ketika malam tiba, kami hanya ngemper di pinggir jalan sambil gitaran. Bosan,
kami berlomba menyelinap ke bus antar provinsi yang lalulalang. Kadang untuk
“meminta” oleh-oleh para penumpang. Atau sekedar nebeng untuk nonton orkes di
kampung seberang.
Paginya kami sekolah dan pulangnya langsung ke kebun untuk cari pakan ternak
atau biji jambu monyet. Jelang sore kami sudah di laut berenang dan menunggu
para nelayan membawa ikan terbang tangkapannya. Berharap mereka menjatahi kami
ikan setelah dibantu mendorong perahunya ke pantai. Kadang pula ikut mencari
bibit bandeng dan menjala di atas karang.
Yah, kehidupan kecil kami memang sesederhana itu, tapi kami banyak belajar
tentang hidup di tempat ini. Belajar jadi generasi yang berbahaya dengan segala
hitam, putih, maupun abu-abu dunia. Yang pada akhirnya menjadi bekal untuk
melanjutkan hidup di tempat yang berbeda. Maklum, kami dipisahkan nasib setelah
tamat SMA.
Namun tak semua dari kami mampu bertahan, Adam menolak untuk tua pada empat
tahun lalu. Dia pergi pada sebuah pagi dengan meninggalkan catatan panggilan di
telepon jadul saya. Sebuah telepon yang saya sesali tidak terjawab karena
ketiduran. “Mang, tenang,” katanya yang selalu bikin kangen itu.
Hanya Bang Doel yang kala itu beruntung mendapat salam perpisahan darinya.
Lewat telepon, kata Bang Doel, Adam bercerita tentang kita yang tetap keren
walau anak kampung. Yang tetap update selera musiknya walau jarang dengar
radio. Yang selalu jadi perbincangan karena kekonyolan maupun kenakalan.
Dan hari ini, saya mendapat kabar Bang Doel pun pergi. Bang Doel yang rumahnya
persis di samping kediaman Ibu saya. Yang saban malam saya ajak keluar untuk
kongkow di jalan.
Bang Doel yang pernah menyelinap di bus malam tapi ternyata ibunya berada di
atas. Yang kadang tidur bareng saya di teras rumah orang kalau sudah kepagian
untuk pulang.
Kenapa kalian begitu cepat bosan dengan dunia? Kenapa kalian begitu takut tua?
Bukannya dunia ini menarik? Kita belum ngumpul di hari lebaran. Di Pulau
Idaman. Pulau tempat kalian tak bisa bangun karena kekenyangan itu. Ahk
Keterlaluan kalian ini!!!
Semoga kalian tetap bahagia di sana..
Tri Suharman
5 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar