Fenomena Fuji-an, Spiral Keheningan atau Spiral Kebisingan?

Dalam teori spiral of silence (spiral keheningan), Elisabeth Noelle-Neumann menyoroti kecenderungan orang untuk tetap diam ketika mereka merasa pandangan mereka berbeda dengan opini mayoritas. Kondisi ini tak lepas dari peran media yang saat teori ini dibuat sekitar 1974, masih berputar pada media tradisional yang sifatnya “oneway” atau searah. Misalnya televisi maupun koran yang mendominasi ruang informasi. Namun, kini kita berada di ruang digital yang sangat dinamis. Bahkan sangat berisik. Sehingga memunculkan pertanyaan, di era media sosial yang terfragmentasi, apakah kita masih takut pada “suara mayoritas”?

Seperti itulah yang dibahas dalam mata kuliah Advance Research Methodology bersama Prof Ahmad Mulyana pada Sabtu 28 Juni 2025. Ia menjelaskan tentang penelitian teranyarnya tentang seseorang yang dulunya termasuk dalam kategori minoritas dalam beropini_karena lebih termotivasi menyesuaikan diri dengan opini mayoritas_berubah menjadi mayoritas.

Situasi ini memungkinkan di dunia digital, khususnya di media sosial, karena terdapat konsep echo chamber dan filter bubble. Konsep ini menjelaskan bagaimana “algoritma” seseorang di media sosial terbentuk berdasarkan informasi disajikan dan dikonsumsi di era digital. Sehingga konten muncul di beranda “wall” seseorang sesuai dengan preferensinya, dan pada akhirnya menciptakan "gelembung" informasi yang terisolasi bagi orang tersebut, yang kemudian mempengaruhi perilaku dan interaksi sosialnya.

Sehingga di dunia digital, seseorang yang selama ini opininya dianggap "minoritas" tidak lagi merasa sendirian. Melalui gelembung informasi ini, algoritma media sosial akan menghubungkannya dengan ribuan orang lain yang berpikiran sama. Mereka pada akhirnya cenderung membentuk "ruang gema" sendiri, yang membuat si minor merasa memiliki opini mayoritas, dan menciptakan “ruang aman” untuk berani bersuara. Bahkan mereka bisa bertindak agresif di media sosial bila ada pihak yang tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka percayai.

Fenomena ini membuat publik di media sosial tidak lagi terbelenggu dengan “spiral keheningan", tapi berubah menjadi "spiral kebisingan" (spiral of loudness), di mana berbagai “kelompok dengan gelembung informasi tertentu” yang saling kontra, bisa dengan mudah saling berlawanan dalam beropini di media sosial.

Prof Mulyana mencontohkan fenomena Fujianti Utami Putri, atau yang lebih dikenal sebagai Fuji an, yang kini dikenal influencer, aktris, presenter, dan model. Fuji secara tiba-tiba mendapatkan popularitas setelah tragedi kecelakaan maut yang menimpa kakaknya, Bibi Andriansyah, dan kakak iparnya, Vanessa Angel, pada tahun 2021.

Ia bukanlah siapa-siapa, opininya di media sosial tidak terdengar, dan sama sekali tak menjadi sorotan media. Namun, setiap opini yang disampaikan Fuji di media sosial, akhirnya menjadi viral setelah mengasuh keponakannya, anak dari Bibi dan Vanessa, pasca kedua orang tua sang anak meninggal.

Dengan konten pengasuhan ala genZ, dengan menampilkan pengalaman mengasuh keponakan, interaksi, serta kegiatan sehari-hari, dengan balutan gaya hidup masa kini, fashion, serta hal yang lagi trend. Fuji berhasil menarik perhatian banyak penggemar dan membangun citra dirinya sebagai seorang influencer yang inspiratif dan relatable. Sehingga simpati terhadap peran Fuji sebagai “orang tua asuh” dengan cepat membentuk sebuah kelompok pendukung yang solid di media sosial.

Di beberapa sumber menyebutkan fans Fuji di antaranya bernama "Thoriq Hoki" (karena kedekatan Fuji dengan Thoriq Halilintar), "Fuji Lovers", serta "Bar-bar" karena beberapa perilaku terlalu berlebihan dalam mendukung Fuji hingga menyerang pihak lain.

Di dalam fans Fuji ini, dukungan untuk Fuji disuarakan dengan opini mayoritas. Para penggemar tidak memiliki rasa takut untuk bersuara karena merasa mendapat dukungan dari penggemar lainnya, yang tentunya sesama fans Fuji. Bahkan suara mereka di media sosial terkadang menyerang pihak lain yang dianggap mengkritik Fuji.

Kritikan terhadap Fuji memang cukup tajam. Ia kerap dianggap melewati batas norma kesopanan, karena mengunggah foto atau video dengan pakaian yang terlalu terbuka serta gaya bicaranya yang dianggap kasar oleh sebagian orang. Kedua kubu sering bertemu di kolom komentar akun gosip atau forum diskusi lain, dan saling menyerang satu sama lainnya. dan pada akhirnya membuka lebar ruang "spiral kebisingan".

Dengan demikian, yang terjadi bukanlah keheningan, melainkan berubah menjadi peperangan kebisingan antara dua kubu yang sama-sama merasa representasi dari “suara mayoritas” di lingkaran mereka sendiri. Ini membuktikan bahwa tidak ada lagi minoritas yang benar-benar diam. Yang ada adalah dua mayoritas yang saling beradu di ruangnya masing-masing.

Inilah yang menunjukkan bahwa asumsi dasar teori Noelle-Neumann perlu dimaknai ulang di dunia yang terpolarisasi ini. Apakah sudah mati atau bertransformasi. Ini menjadi pertanyaan penting karena rasa takut terhadap pandangan mayoritas tak lagi di dunia nyata, tapi juga merambah di media sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Super itu Telah Pergi

Hilang Satu Generasi

Babak Baru