Senja di Penggorengan



Pandanglah sepuhan keemasan seperti bulan tenggelam di penggorenganmu. Sepuhan keemasan dari lempeng wajan hangus milik tetangga kita. Suami istri yang sering bertengkar itu.


Bermimpilah bahwa itu adalah senja. Senja yang mendidih bermandi letupan-letupan minyak. Minyak yang entah berapa kali kau pakai menggoreng ikan.


Hembuskan nafasmu pelan, lalu hirup dengan tenang. Bayangkan bau sisa ikan itu adalah udara senja di desa kita. Senja yang jauh lebih indah dari negeri senja milik Seno Gumira.


Senja yang tak hanya memancarkan siluet-siluet rindu, tapi juga seperti flaskdisk kenangan. Flashdisk yang berisi satu gigabyte kebahagiaan kita.


Keceriaan yang disaksikan dinding reyot gubuk kita. Pada setiap senja hingga azan subuh seketika menggema. Pada desahan kita, saat mereguk kenikmatan di atas balai berlapis kain spanduk para demonstran.


Dan ini, ku berikan senja yang sudah matang di penggorenganmu. Tak usah pakai piring, cukup kertas bekas nasi uduk sepekan lalu itu. Ayolah, isi perutmu sayang, jangan biarkan hanya dibasuh air tawar.


Jangan pikirkan aku, cukup dirimu yang kenyang, aku senang. Aku janji besok kita sudah sarapan. Sebab malam ini akan kuambilkan wajan milik tuan tanah di seberang lorong itu.


Berdoalah sepuhan emasnya bisa lebih banyak dari tentangga kita yang entah kemana itu. Biar sepekan kita bisa bertahan.


Kepada yang duduk di trotoar
Jakarta 31 0ktober 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Veteran Tua Lelah Usia

telepon terakhir

Matamu......